Realita yang terjadi di sekitar kita sudah tak dapat dipungkiri lagi. Hal tersebut ditandai dengan lunturnya nilai-nilai karakter yang seharusnya tertanam di dalam diri siswa. Tak ayal, saya pun terkadang harus mengakui bahwa saya sendiri merupakan dalang di balik hal tersebut. Contoh sepelenya dapat diambil dari kegiatan sehari-hari saya, dalam konteks ini dapat dicontohkan dengan sikap kurang menghargai kerja keras para dewan guru yang bersusah payah mengoreksi hasil kerja saya. Dan akhirnya saya merasa kurang puas dengan 'goresan tinta' yang ditorehkan di secarik kertas sarat makna. Tanpa sadar, saya mengeluarkan argumen-argumen yang seharusnya tidak pernah saya ucapkan mengingat posisi saya sebagai terdidik, bukan pendidik.
Realita yang terjadi di lingkungan kelas bahkan sekolah di kalangan remaja saat ini bahkan kian memburuk. Guru seakan menjadi alasan nihil atau kecilnya 'goresan tinta' di buku lapor remaja saat ini. Mengingat pada zaman kurikulum dua ribu tiga belas (disingkat : kurtilas) saat ini mendoktrin siswa untuk bersikap 'baik' (atau sok baik) untuk mendapatkan 'goresan tinta' atau sekedar tulisan 'baik' yang tertoreh di buku yang hendak mereka tunjukkan dengan penuh kepongahan.
Definisi sopan dan santun yang paling rendah adalah menghargai, di atasnya ada menghormati. Mau seketat apapun sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia, ternyata tidak mampu 'membenahi' watak dan karakter remaja yang sudah di ambang batas wajar dengan hanya goresan tinta berupa A, B, C, ataupun D. Siapapun tidak berhak menilai sikap atau kepribadian seseorang baik dari sudut pandang subyektif atau obyektif. Karena kepribadian itu sepenuhnya adalah harga diri dan martabat yang mencerminkan pola hidup seseorang di lingkungannya.
Apakah Kurtilas mengajarkan untuk bersikap berpura-pura baik di hadapan guru?
Sedihnya, saya menganggap pernyataan tersebut ada benarnya. Namun setelah dipikir masak-masak, saya rasa pendapat tersebut dapat menimbulkan salah tafsir. Hal itu dikembalikan kepada 'opini' para remaja itu sendiri. Saya pribadi, merasa lebih baik bersikap berpura-pura baik dari pada melawan atau membantahnya. Sehingga saya akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak berkonflik dengan siapapun. Baik itu guru yang dianalogikan sebagai orang tua atau orang yang dituakan pada konteks ini.
Stereotip masyarakat Indonesia yang kebanyakan begitu menunjukkan identitas negaranya sebagai negara berkembang merupakan salah satu alasan dikambing hitamkannya 'kurtilas' sebagai wadah menadah nilai dengan bersikap pura-pura baik di hadapan orang tua mereka di sekolah. Lalu yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah : bersikaplah normal, sewajarnya, dan tidak berlebih-lebihan dalam 'mencari nafkah' berupa nilai. Sekali-kali ingatlah, tidak semua orang yang nilainya masuk ke dalam kategori 'baik' dapat dipastikan hidupnya terjamin.
Lalu? pikiran polos anak-anak seharusnya menjawab "nilai" bila ditanya tentang manfaat bersekolah. Nilai yang dapat mereka peroleh dengan beragam cara, halal atau haram. Baik halnya dengan kepribadian, hal yang seharusnya tidak boleh ditelanjangi oleh seseorang. Guru hanya menilai kepribadian seseorang dari hal yang dilihatnya atau diketahuinya di sekolah, tanpa peduli dengan latar belakang dan alasan di balik perbuatannya. Terkait dengan pemaparan di atas, saya menyimpulkan bahwa kepribadian seorang murid di sekolah sepantasnya di nilai oleh Tuhan YME.
Belajar untuk mencari ilmu
Sekolah untuk mencari nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang bijak :)