Aku sudah
cukup lelah membawa sekitar belasan buku di tanganku. Namun, gadis berambut
hitam legam itu samasekali tidak mengalihkan pandangannya dari rak berisi
tumpukan buku, memilih-milih yang mana yang akan kami pinjam.
Nama gadis itu Yessicha Tashya Emillie. Jejey adalah
panggilan akrabnya. Kami bersahabat sudah sedari sekian lama. Dia sangat
pendiam jika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Dan yang paling kubenci
darinya yaitu, rasa ingin tahunya yang sering menjerumuskanku ke berbagai
masalah.
“Lebih cepat sedikit,” perintahku, tanganku sudah cukup
pegal.
Kalimatku dibalasnya oleh tatapan sinis. Oh, aku tidak akan
memedulikannya. Yang aku khawatirkan, hanya penjaga perpustakaan yang sedari
tadi menatap kami dengan tatapan yang ‘tidak mengenakkan’. Jejey selalu
meminjam buku yang aneh-aneh, seperti buku tentang sejarah seluruh siswa di
sekolah ini yang baru saja dikembalikannya kemarin.
Langkah kakiku mulai goyah, tanganku terasa semakin pegal
harus membawa buku-buku ini ke meja dipojok sana. Ya, aku tahu pasti tidak akan
diperbolehkan meminjam buku sebanyak ini. Tapi, aku pura-pura tidak tahu saja.
Begitu tiba di sana, kami tersentak.
“Tidak boleh!” seru penjaga perpustakaan yang bernama Mrs.
Sherly dengan kasar.
“Apa-apaan, kami kan mau belajar!” jawabnya lebih galak.
“Pokoknya tidak boleh, hanya tiga saja yang boleh dipinjam!”
kali ini penjaga perpustakaan jauh lebih galak.
Kami terpaksa memilih-milih buku lagi dan menghabiskan satu
jam penuh di perpustakaan. Sungguh menyebalkan. Dan ternyata lebih menyebalkan
lagi saat mendengarnya berkata, “Buku yang kita bawa jelek semua. Tidak ada
yang bagus, lebih baik kucari lagi,”. Rasanya isi kepala ini akan meledak, siap
untuk memarahinya habis-habisan.
Braaak! Saat itu juga, perhatian kami teralihkan oleh buku
lusuh tanpa sampul yang terjatuh dari puncak rak. Jejey memungutnya. Di depan
buku itu tertulis nama ‘Clara La Bonita’, kami bergidik ngeri. Kisah ini sudah
terkenal turun temurun. Gadis itu sudah menjadi trending topic sejak tiga puluh tahun yang lalu. Bahkan, konon
sosoknya masih berkeliaran menghantui gedung sekolah. Misterius.
“Bukannya Clara, gadis yang tewas secara misterius itu ya?”
sontak perkataan itu keluar dari bibirku. Kami saling bertatapan.
“Sshh! Ribut sekali. Ada apa?” tanya Mrs. Sherly memergoki
kami.
“T..tidak apa-apa,” jawab Jejey, lalu menutup buku itu dan
memasukkannya ke dalam sakunya. Aku sempat menangkap gerak-geriknya.
“Kalian tidak jadi meminjam buku?” tanyanya.
“T..tidak jadi. Soalnya,” Jawabku agak gugup
Sigap, kami menyelinap keluar.
Sekejap, aku sempat melihat gerak refleks tangan Jejey memasukkan buku tersebut
ke sakunya.
“Jangan gila!” bentakku seraya
mencoba meraba sakunya.
“Kau sembunyikan buku itu kan!”
lanjutku mencoba merebut buku itu. Jejey mencoba mencegahku.
“Temui aku malam ini juga,” pesannya
penuh misteri.
***
Malam tiba,
gadis dengan blouse pink dan celana jeans
pendek itu terlihat mengetuk pintu selama beberapa kali. Kau pikir aku
bercanda, Busana bernuansa Teeny Girl
layaknya seorang gadis di pesta Prom
Night? Apakah kau sudah gila? Mungkin itulah yang terbayang di kepala Jejey
begitu membukakan pintu.
“Baiklah,
aku sudah menelisik seluruh kode di buku ini, dan hasil yang kudapat adalah
nol!” seru Jejey. Aku terbahak, namun ia sepertinya tidak ingin aku menganggapnya
sebuah lelucon. Dia benci lelucon.
“Di buku ini
tertulis dua rumus. Yang diatas, rumus yang ku tak mengerti. Lebih tepatnya
lagi, deretan angka yang tak berurutan 40, 5, 20 dan 2000, Apa maksudnya ya?” Aku
menatap Jejey. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Aku berpikir keras. Kalau
tidak salah, ulangtahun gadis itu pada tanggal 20 Mei, seperti tertera di
rumus. Aku sudah bosan diceritakan tentang legenda ‘gadis itu’. Sudah ratusan
kali kudengar dari Jejey.
Angin
berhembus, meninabobokkan penjuru bumi belahan timur...
Semilir...
Semilir mendayu-dayu melambaikan daun
pohon ek
Semilir menyibak sehelai rambut
berdarah semerah bata
Semilir bukakan lembaran buku di
puncak terlupakan
Semilir samarkan warna di tiap bait
aku berdoa
Semilir mengoyak buku bertahtakan
sembilu
Semilir imajikan rumus di penghentian
akhir
Di penghentian akhir, di usia yang
bertambah...
Semilir...
Suara
tersebut terdengar sayup-sayup mengalum sebelum kami tahu dari mana asalny.
Suara yang mengantun lirih ditiap-tiap baitnya. Wanita di sebelahku wajahnya
memang buruk rup, namun aku tahu dia orang yang baik. Aku terfokus oleh
sepatah, dua patah kata yang keluar dari tiap lipatan bibir pucatnya.
Semilir...
Semilir tunjukkan kata ‘2000’ akhir
dari penantian
Di tiap hari lahir. Ku berdoa
Semilir ‘kan tuntun daku pada secerca
pelita
Gadis disana, jawabannya. Datang dari
silsilah yang sama
Semilir terangi jiwanya, dengan
kesucian
Bakar, bakar! Bagai api yang membara
Aku tertegun. Ternyata yang kualami barusan hanyalah mimpi.
Lalu menatap kertas yang sedari tadi kugenggam.
“Aku mengerti! Nona Clara dibunuh pada tahun 2000. Di tanggal
yang bersamaan, secerca pelita dilahirkan. Dia ditakdirkan untuk hidup dalam
‘kematian’. Ia dibunuh pada tanggal 20 Mei. Pada hari itu juga, penantiannya
tiba. Lahir seorang anak ‘tuk balaskan dendamnya, dan anak itu akan ada pada
tangan pembunuh Nona Clara, lalu dia juga akan... MATI...”
“jangan-jangan...” potong Jejey.
“Apa?” tanyaku penasaran
“Aku adalah ‘secerca pelita’ itu,” ungkap Jejey tiba-tiba.
“Jangan bodoh!” senggolku kasr. Aku marah sekali mendengarnya
berkata seperti itu. Karus kuakui, dia adalah gadis yang lemah. Sudah kuduga,
airmata menitik. Pada saat-saat seperti inilah, aku harus mendidiknya agar lebih
‘kuat’.
“Kau ahu, sejak awal kematian misteriusnya. Hidupku berubah.
Ayah dan ibu menjadi gila, mereka menyebut namanya setiap hari. Ibu sudah
pernah melakukan pecobaan bunuh diri. Ayah sudah tiga kali kabur dari rumah.
Kak Clara, tidak pernah bercerita apapun. Waktu itu, aku baru berusia 7 tahun,
tidak akan bisa memahani gadis remaja itu. Yang kutahu hanyalah tanggal
kematiannya sama dengan tanggal lahirku. Hanya buku ini yang tersisa, yang akan
menuntunku kepada pembunuhnya dan melakukan hal yang sama seperti yang ia
lakukan pada kak Clara, kakakku,” jelasnya panjang lebar.
Aku tertegun. Tetapi tidak mungkin kuekspresikan begitu saja
dihadapan Jejey yang sedang terisak.
“Aku akan membantumu,” bisikku pelan.
“tapi bagaimana?” tanya Jejey.
Aku mengamati diary itu, hanya ada rumus aneh. Di belakangnya
ada selembar halamn kosong. Ctek! Aku menghidupkan lampu. Aneh bin ajaib!
Kertas itu seperti berubah warna. Lalu, muncul tulisan dengan tinta bening.
“Tinta lemon! Kenapa tidak terpikir olehku,” ujarku baru
sadar.
“Tinta lemon?” tanya Jejey, lalu menggaruk-garuk kepalanya.
“Dulu ini merupakan mainanku saat Primary School. Surat ditulis dengan tinta lemon yang akan hilang
warnanya jika sudah kering. Agar dapat dibaca, kami menaruhnya di bawah sinr
lampu beberapa saat,” jelasku panjang lebar.
CLARA LA BONITA
Begitulah bunyi baris teratas. Kami melanjutkan membaca...
Metropollite, 21 Mei 2000
Sesak di dada, jika mengetahui hal sekeji ini dilakukan oleh
sahabat kita sendiri, atau justru ‘yang kuanggap seorang sahabat’. Mungkin, aku
tidak perlu menyebut namanya. Dia yang selalu licik, egois, selalu mendapatkan
yang ia mau.
Yang selalu kuinginkan darinya hanyalah permohonan maaf
‘tulus’ yang langsung keluar dari bibirnya.
“Surat ini terpotong!” seruku.
“benarkah?” tanya Jejey memastikan.
“heiu, lihat! Ada rumus, maksudku peta,” aku berteriak
kegirangan. Namun, peta itu agak aneh. Nama ‘RumahKeluarga La Bonita’
terpampang di bagian atas peta. Di Peta tersebut terdapat simbol-simbol aneh,
seperti : pohon, awan, langit dan binatang-binatang yang disusun sejajar. Di
atasnya terdapat simbol mahkota. Aku bersumpah, tidak akan ada yang memahami
peta ini dengan cepat.
“Mungkin di halaman rumah?” tanya Jejey. Aku tidak percaya
akan menemukan semua simbolnya di sana. Tetapi, tidak ada salahnya mencoba,
bukan?
“Bukan disini.Jey, coba pikirkan, satu saja. Satu ruangan
yang belum pernah kau masuki,” kataku penuh harap.
“Hmmmm... ruangan yang belum pernah kumasuki. Hmmm... satu
ruangan yang belum pernah kumasuki,” Jejey berpikir keras.
“Rasanya aku tahu dimana itu. Satu ruangan yang selalu ayah
dan ibu larang aku untuk memasukinya,” ungkap Jejey.
“kau serius?” tanyaku memastikan.
“Ikuti aku!” perintahnya penuh misteri.
Aku dan jejey perlahan-lahan menyelinap masuk ke kamar. Kami
berjingkat agar tidak ada satupun orang yang mengetahui kami. Jejey membuka
kunci pintu yang sudah lapuk, mungkin karena terlalu tua.
“Sepertinya, bukan disini.” Aku menyimpulkan. Di runagan itu
hanya ada tumpukan buku yang disusun dalam rak yang sudah berdebu. Tidak ada
satupun simbol yang cocok dengan keadaan ruangan.
“Kau sudah lupa ya. Pelajaran tentang ‘Persepsi’ atau yang
diartikan sebagai sudut pandang manusia mengenai suatu masalah. Buku itu
ditulis Kak Clara berdasarkan persepsinya tentang buku. Waktu itu Mrs. Sherly
berkata, “Setiap buku di tulis berdasarkan opini/persepsi penulisnya,” Jejey
menerangkan panjang lebar.
“Ku percaya pada wanita tua itu? Dia berkata begitu agar kau
cepat-cepat pergi dengan buku-buku aneh yang kaupinjam itu,” bantahku agak
kasar. Jejey tak menghiraukannya, dia malah berkeliling.
“Lihat, buku Herbology
dan tanaman ada di sebelah kanan, sesuai dengan petanya kan?” tanyanya dengan
nada tinggi.
Aku memeriksanya dan ternyata semua itu bnar. Simbol Mahkota
ada di belakang rak wan, yang pada kenyataannya berisi buku tentang astronomi.
“Tidak ada apa-apa,” kataku setelah memeriksanya.
“ini dia!” teriak Jejey bahagia setelah berhasil menemukan
sepucuk kertas diselipkan di buu tentang Planet dan Tata Surya. Dengan cepat,
aku menyuruh Jejey membacanya kuat-kuat.
CLARA LA BONITA
SEMENJAK ITU, AKU MENGHANTUINYA TEUS MENERUS HINGGA AKHIRNYA
IA TIDAK TAHAN LALU MEMINTA MAAF SECARA TERPAKSA. DIA ADALAH SHERLY HERGESSON
“Mrs Sherly?!” seruku.
“nama Mrs. Sherly bukannya tidak ada Hergesson?” tanya Jejey.
“Lebih baik, kita tanyakan saja padanya,” usulku.
“Idiot. Lalu kita akan bertanya, “Hei Mrs. Sherly, Apakah kau
membunuh kakakku?”,” canda Jejey. Tetapi mau tidak mau harus kami lakukan.
Kuakui ide itu sungguh buruk, namun itu satu-satunya jalan.
***
Langkah kaki
kami mulai goyah begitu mwemasuki ruang perpustakaan. Sorotan mata tajam itu
tentu tidak dapat kami hindari. Kami langsung duduk, dan menyerahkan buku itu.
Wajah beliau berubah seratus delapan puluh derajat, memerah.
“Dari mana kalian dapat buku ini!!!” bentaknya dengan kasar.
“Jawab!! Darimana kalian dapat buku ini!” serunya lagi.
Kami saling berpandangan, sulit untuk mengeluarkan kata-kat.
Suaraku seperti tersekat di pangkal tenggorokan, menolak untuk berbicara
sepatah kata.
“K..kami menemukannya,” jawab Jejey pura-pura lantang.
“Bagus, berarti kalian sudah tahu rahasianya kan,” pandangan
pucat itu mendadak berubah menjadi senyum simpul.
“Cepat taruh di bawah sinar lampu!” perintahnya begitu nampak
tulisan itu. Aku tertegun, di wajah Mrs. Sherly juga nampak tulisan yang sama.
“Jadi kalian, yang
menyebabkan tulisan ini nampak diwajahku tadi malam. Kalau aaku tahu ini
kerjaan bocah seperti kalian, aku tidak mungkin sepanik ini,” ledeknya
terkekeh.
“Jelaskan, jelaskan apa maksudmu!” seru Jejey.
“Ya, tepat seperti yang kuingat, Clara La Bonita, Gadis baru
di sekolah kami. Cantik dan baik. Semua membanggakannya. Awalnya aku
bersahabat, lama kelamaan aku merasa tergeser karena segala kelebihannya. Lalu
aku membunuhnya....
“Lalu?” tanyaku penasaran/
“Semenjak itu jiwaku di segel ke dalam sebuah buku. Dia kerap
mengancam dan menghantuiku ke dalam mimpi indahku. Sayang sekali, aku berhasil
menemukan buku itu lalu hantunya datang dan merobeknya. Sedihnya, dia hanya
mendapatkan satu halaman yang tidak akan mempan untuk membunuhku. Lalu aku
menyimpan buku ini di perpustakaan lalu melamar menjadi penjaga perpustakaan,
agar bisa mengawasi buku itu setiap saat,.” Jelasnya sambil terbahak
“Sungguh, anak-anak bodoh,” jawabnya acuh tak acuh. Ia merebut
buku di genggaman tanganku dan membuka halaman kosong lalu menaruhnya tepat dibawah
sinar lampu. Sekitar lima menit, kami berdecak kagum sekaligus kaget. Ternyata
ada tulisan yang tersirat di halaman kosong itu. Ternyata tidak hanya di
halaman kosong, tulisan itu juga nampak di wajah Mrs. Sherly seperti sebuah
goresan.
Seet! Mrs.
Sherly mengacungkan pisau tajam ke arah Jejey.
“Berikan
buku itu sekarang!” serunya.
“Jangan
berikan! Robek bukunya, hancurkan!” perintah Jejey. Aku menurutinya. Aku
menyambung isi buku. Wajah Mrs. Sherly seperti tertarik ke dalam buku.
HIAT!
Genggamannya masih cukup kuat untuk menghunus pisau dan BALST! Pisau itu
menembus perut Jejey. Aku berlari dan berusaha menghentikannya, pisau itu sudah
menancap tepat di perut Jejey. Perutnya terus mengucur darah segar yang
mengalir tiada henti.
“Aku bangga padamu, semua sudah berakhir. Aku
kini tahu Rumus Kematianku itu menjadi akhir dari segala kenistaan ini. Dan Kau
adalah orang yang berhasil mengak-akhi..rinya,”
Suaranya terhenti
di pangkal tenggorokan, kurasakan nadi yang melemah dan juga Bibir yang semakin lembab oleh derai air mata. Kurasakan
pandangan itu makin melemah. Sampai akhirnya benar-benar tiada. Malam itu juga semua berakhir. Ya, akhir dari
akhir.
Semilir...
Semilir berhembus dari nirwana...
Semilir jemput gadis berambut merah
bata...
Semilir ‘kan sampaikan sepatah kata
‘terimakasih’
Bersamaan
dengan lenyapnya suara itu, buku di atas meja pun turut lenyap. Mungkin Nona
Clara membawanya ke suatu tempat, tempat dimana seorang pun takkan tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang bijak :)