Kamis, 14 Juli 2016

Tulisanku

Pernah, seorang anak bertanya pada ayahnya, “Ayahanda, bukankah lebih menyenangkan menjadi orang dewasa?”
Sang Ayah tertegun, kemudian balik bertanya, “Loh kenapa?”

“Orang dewasa selalu benar, tidak bisa disalahkan. Saat aku bermain, orang dewasa mengatur waktu bermainku, Aku tidak boleh bermain sampai larut malam. Tidak begitu dengan mereka. Orang dewasa selalu menyuruhku belajar, padahal aku tidak pernah melihat mereka membaca. Banyak hal yang tidak boleh kulihat dan kutonton, padahal mereka senang sekali menontonnya. Benar ‘kan?”
Mata ayah tertuju pada sudut ruangan,

Tiga puluh dua tahun yang lalu, terdengar jelas. Suara entakkan kaki, nyanyian kanak-kanak,dan tawa riang melebur menjadi simfoni siang yang ritmis. Semua wajah mereka lugu, tak berdosa.

Tiga puluh dua tahun yang lalu, oh tentu saja! Tidak ada kamera Polaroid, kalaupun ada, mungkin sangatlah kuno mengingat foto yang dihasilkan berefek Sepia. Tidak ada telepon genggam, tidak ada orang yang menunduk saat berbicara dengan lawan bicaranya. Hanya kami, dengan seragam SMP lusuh, setiap hari menghabiskan sisa masa kanak-kanak.

Tiga puluh dua tahun yang lalu, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang tahu, “Aku mau jadi apa ya? Kalau kerja di mana? Kuliahku bagaimana?” Tanyakanlah pada bocah-bocah di figura sepia itu, mereka semua akan menjawab mau menjadi dokter.

Tiga puluh dua tahun yang lalu, benih-benih cinta mulai tumbuh merekah. Dongeng si buruk rupa dengan si cantik mulai populer. Tidak ada yang memperhatikan penampilan,tidak ada yang memakai lipstik atau bedak. Yang tersisa hanyalah rambut pendek atau keriting era 80-an yang mengerikan.

Tiga puluh dua tahun yang lalu, adakah yang bertanya,”Apakah kita akan berpisah? Apakah suatu saat kita akan berjumpa?” Adakah? Apa ada yang bertanya, “Lalu kita akan bercerita, menertawakan tindak tanduk kita yang konyol? Mengenang masa kecil yang takkan pernah kembali?” Kemudian adakah yang datang sambil tersenyum, dalam wujud pria mapan dengan limosin mahalnya. Adakah pula yang membawa berita sedih, datang dengan hanya beralaskan sandal?”

Tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah senyuman, canda, tawa tanpa alasan. Tak tahu kapan kembali.Di hari foto itu diambil, figuranya pecah berkeping-keping.Tersimpan di gudang,terlupakan. Bagai memori yang lapuk dimakan usia.

Ayah pun menjawab pertanyaan anaknya, “Memang enak menjadi orang dewasa. Namun percayalah, saat engkau dewasa nanti kau pasti akan menarik kata-katamu nak,”

Sang Ayah bangkit, menuju gudang terlupakan. Memungut pecahan kaca figura dan merekatkannya kembali.


“Semoga kita bias bertemu lagi, Sahabatku” ucapnya dengan segenggam harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang bijak :)