Pernah, seorang anak bertanya pada ayahnya,
“Ayahanda, bukankah lebih menyenangkan menjadi orang dewasa?”
Sang Ayah tertegun, kemudian balik bertanya,
“Loh kenapa?”
“Orang dewasa selalu benar, tidak bisa disalahkan. Saat aku bermain, orang dewasa mengatur waktu bermainku, Aku tidak boleh bermain sampai larut malam. Tidak begitu dengan mereka. Orang dewasa selalu menyuruhku belajar, padahal aku tidak pernah melihat mereka membaca. Banyak hal yang tidak boleh kulihat dan kutonton, padahal mereka senang sekali menontonnya. Benar ‘kan?”
Mata ayah tertuju pada sudut ruangan,
Tiga
puluh dua tahun yang lalu, terdengar jelas. Suara entakkan kaki, nyanyian
kanak-kanak,dan tawa riang melebur menjadi simfoni siang yang ritmis. Semua
wajah mereka lugu, tak berdosa.
Tiga
puluh dua tahun yang lalu, oh tentu saja! Tidak ada kamera Polaroid, kalaupun
ada, mungkin sangatlah kuno mengingat foto yang dihasilkan berefek Sepia. Tidak
ada telepon genggam, tidak ada orang yang menunduk saat berbicara dengan lawan
bicaranya. Hanya kami, dengan seragam SMP lusuh, setiap hari menghabiskan sisa
masa kanak-kanak.
Tiga
puluh dua tahun yang lalu, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang tahu, “Aku mau
jadi apa ya? Kalau kerja di mana? Kuliahku bagaimana?” Tanyakanlah pada
bocah-bocah di figura sepia itu, mereka semua akan menjawab mau menjadi dokter.
Tiga
puluh dua tahun yang lalu, benih-benih cinta mulai tumbuh merekah. Dongeng si
buruk rupa dengan si cantik mulai populer. Tidak ada yang memperhatikan
penampilan,tidak ada yang memakai lipstik atau bedak. Yang tersisa hanyalah
rambut pendek atau keriting era 80-an yang mengerikan.
Tiga
puluh dua tahun yang lalu, adakah yang bertanya,”Apakah kita akan berpisah?
Apakah suatu saat kita akan berjumpa?” Adakah? Apa ada yang bertanya, “Lalu kita
akan bercerita, menertawakan tindak tanduk kita yang konyol? Mengenang masa
kecil yang takkan pernah kembali?” Kemudian adakah yang datang sambil
tersenyum, dalam wujud pria mapan dengan limosin mahalnya. Adakah pula yang
membawa berita sedih, datang dengan hanya beralaskan sandal?”
Tidak
ada jawaban. Yang ada hanyalah senyuman, canda, tawa tanpa alasan. Tak tahu
kapan kembali.Di hari foto itu diambil, figuranya pecah
berkeping-keping.Tersimpan di gudang,terlupakan. Bagai memori yang lapuk
dimakan usia.
Ayah pun menjawab pertanyaan anaknya, “Memang
enak menjadi orang dewasa. Namun percayalah, saat engkau dewasa nanti kau pasti
akan menarik kata-katamu nak,”
Sang Ayah bangkit, menuju gudang terlupakan.
Memungut pecahan kaca figura dan merekatkannya kembali.
“Semoga kita bias bertemu lagi, Sahabatku”
ucapnya dengan segenggam harapan.